BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Kita mengetahui bahwa setiap negara di dunia ini tidak ada yang terbebas dari masalah kependudukan baik itu negara maju, Negara berkembang apalagi negara miskin. Begitu juga dengan negara kita ini tentunya mengalami masalah kependudukan itu. Masalah kependudukan tersebut mencakup masalah persebaran penduduk yang tidak merata, kemiskinan, penganguran, masih tingginya buta huruf, tingginya masalah kematian bayi dan kepadatan penduduk selain itu masih banyak lagi masalah kependudukan tersebut.
Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masih berpendidikan rendah. Dampaknya terhadap pendapatan perkapita yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Juga terhadap kehidupan rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan yang akan berpengaruh terhadap angka kelahiran dan kematian yang dalam banyak hal dijadikan indikator bagi kesejahteraan suatu negara. Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa manusia adalah sebagai subjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak diantisipasi mungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatu negara.
- Tujuan
Dalam tulisan ini akan membahas mengenai permasalah kependudukan yang ada di negara kita (Indonesia) dan akan di uraikan permasalahan tersebut baik itu pengertiannya dampaknya dan serta cara mengatasinya. Permasalahan kependudukan yang saya bahas dalam makalah ini yakni permasalahan yang klasik yang di hadapi oleh penduduk di dunia ini maupun negara di dunia ini tidak ada negara yang hidup dan terbebas 100% dari yang namanya kemiskinan.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan tujuan dari penulisan makalah ini maka penulis berupaya merumuskan permasalahan tersebut :
- Apakah depinisi kemiskinan itu ?
- Bagaimana cara mengatasi permasalahan kemiskinan itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
Penduduk
Jumlah penduduk di Indonesia memang tidak sebanyak di Cina yang hampir mencapai 1.3 miliar, namun sama saja di Indonesia juga mengalami peningkatan bahkan telah mencapai 200 juta orang lebih. pertumbuhan penduduk yang semakin pesat justru mungkin dapat menghambat pembangunan nasional. Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk sekitar 1.175% per tahun, dan angka tersebut masih sangat besar bila harus mengikuti tantangan kemajuan pembangunan di masa depan. dilihat dari pertumbuhan dari tahun ke tahun, maka penduduk Indonesia dimungkinkan akan memiliki masalah besar, terutama menyangkut kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan, dan ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
- Orang yang tinggal di daerah tersebut
- Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonmi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial.
Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal. Beberapa pengamat masyarakat percaya bahwa konsep kapasitas muat juga berlaku pada penduduk bumi, yakni bahwa penduduk yang tak terkontrol dapat menyebabkan katastrofi Malthus. Beberapa menyangkal pendapat ini. Grafik berikut menunjukkan kenaikan logistik penduduk.
Negara-negara kecil biasanya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, di antaranya: Monako, Singapura, Vatikan, dan Malta. Di antara negara besar yang memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah Jepang dan Bangladesh.
Piramida penduduk
Distribusi usia dan jenis kelamin penduduk dalam negara atau wilayah tertentu dapat digambarkan dengan suatu piramida penduduk. Grafik ini berbentuk segitiga, dimana jumlah penduduk pada sumbu X, sedang kelompok usia (cohort) pada sumbu Y. Penduduk lak-laki ditunjukkan pada bagian kiri sumbu vertikal, sedang penduduk perempuan di bagian kanan.
Piramida penduduk menggambarkan perkembangan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Negara atau daerah dengan angka kematian bayi yang rendah dan memiliki usia harapan hidup tinggi, bentuk piramida penduduknya hampir menyerupai kotak, karena mayoritas penduduknya hidup hingga usia tua. Sebaliknya yang memiliki angka kematian bayi tinggi dan usia harapan hidup rendah, piramida penduduknya berbentuk menyerupai genta (lebar di tengah), yang menggambarkan tingginya angka kematian bayi dan tingginya risiko kematian.
Pengendalian jumlah penduduk
Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Dokumen dari Yunani Kuno telah membuktikan adanya upaya pengendalian jumlah penduduk sejak zaman dahulu kala. Salah satu contoh pengendalian penduduk yang dipaksakan terjadi di Republik Rakyat Cina yang terkenal dengan kebijakannya 'satu anak cukup'; kebijakan ini diduga banyak menyebabkan terjadinya aksi pembunuhan bayi, pengguguran kandungan yang dipaksakan, serta sterilisasi wajib.
Indonesia juga menerapkan pengendalian penduduk, yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), meski program ini cenderung bersifat persuasif ketimbang dipaksakan. Program ini dinilai berhasil menekan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia
Kesehatan Reproduksi.
Sementara itu, isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus pemerkosaan yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional, misalnya pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain isu mengenai marital rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah penderita HIV/AIDS, yang cenderung meningkat secara tajam Situasi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah penderita HIV/AIDS pada tahun 1987 hanya 9 orang, namun pada akhir tahun 2005 meningkat tajam menjadi 9.370 orang (Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional). Illustrasi ini sekedar memberikan pemahaman bahwa ada banyak masalah yang terkait dengan kesehatan reproduksi yang belum tertangani dengan baik.
a. Masalah Akibat Angka Kelahiran
1. Total Fertility Rate (TFR)
Hasil perkiraan tingkat fertilitas (metode anak kandung) menunjukan bahwa penurunan tingkat fertilitas Indonesia tetap berlangsung dengan kecepatan yang bertambah seperti nampak pada Tabel di bawah ini :
Periode (tahun) | TFR % | Penurunan/tahun |
1967 -1970 | 5,605 | 1,7 |
1971 -1975 | 5,200 | 2,3 |
1976 -1979 | 4,680 | 2,8 |
1980 -1984 | 4,055 | 3,9 |
1987 -1990 | 3,222 | 2,1 |
1990-2000 | 2.59 | 1.49 |
Sumber:
http://www.bps.go.id
Dari table diatas dapat dilihah bahwa penurunan tingkat kelahiran tiap periodenya mengalami penurunan
2. Age Spesific Fertility Rate (ASFR)
Hasil SP71 dan SP80 masih menunjukan bahwa tingkat kelahiran untuk kelompok umur wanita 20-24 tahun adalah yang tertinggi. Namun demikian terjadi pergeseran ke kelompok umur (25 -29) tahun pada hasil SP80 dan ini akan memberikan dampak terhadap penurunan tingkat fertilitas secara keseluruhan (Trend Fertilitas, Mortalitas dan Demografi, 1994: 18)
Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan beberapa masalah (terkait dengan SDM) sebagai berikut :
- Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban pemerintah dalam hal penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatanketimbang aspek intelektual.
- Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat tinggi akibatnya bagi suatu negara berkembang akan menunjukan korelasi negative dengan tingkat kesejahteraan penduduknya.
Jika ASFR 20- 24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi SDM yang semakin menurun.
b. Masalah Komposisi Jumlah Penduduk
Komposisi penduduk yaitu pengelompokkan penduduk berdasarkan kriteria (ukuran) tertentu. Dasar untuk menyusun komposisi penduduk yang umum digunakan adalah umur, jenis kelamin, mata pencaharian, dan tempat tinggal. Pengelompokkan penduduk dapat digunakan untuk dasar dalam pengambilan kebijakan dan pembuatan program dalam mengatasi masalah-masalah di bidang kependudukan. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2000 berjumlah 206,264,595 dari jumlah tersebut komposisi usianya tidak berimbang yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah baru. Katagori Berdasarkan Usia Sebagai Berikut :
Tabel Komposisi Penduduk Indonesia Antar Sensus pada Tahun 2005
Kelompok Umur | Laki-laki | Perempuan | Total |
0-4 | 9,983,140 | 9,608,600 | 19,591,740 |
5-9 | 11,370,615 | 10,739,089 | 22,109,704 |
10-14 | 11,238,22 | 10,614,026 | 21,852,247 |
15-19 | 110,370,890 | 9,958,783 | 20,329,673 |
20-24 | 9,754,543 | 10,150,607 | 19,905,150 |
25-29 | 9,271,546 | 9,821,617 | 19,093,163 |
30-34 | 8,709,370 | 9,054,955 | 17,764,325 |
35-39 | 8,344,025 | 8,428,967 | 16,772,992 |
40-44 | 7,401,933 | 7,347,511 | 14,749,444 |
45-49 | 6,418,712 | 6,190,218 | 12,608,930 |
50-54 | 5,266,079 | 4,851,176 | 10,117,255 |
55-59 | 3,813,793 | 3,563,361 | 7,377,154 |
60-64 | 2,800,974 | 2,918,499 | 5,719,473 |
65-69 | 1,990,762 | 2,192,385 | 4,183,147 |
70-74 | 1,470,205 | 1,570,199 | 3,040,404 |
75+ | 1,408,711 | 1,462,776 | 2,871,487 |
Total | 109,613,519 | 108,472,769 | 218,086,288 |
Sumber : http://www.datastatistik-indonesia.com
Dari table tersebut dapat kita cermati bahwa penduduk di negara kita ini termasuk penduduk muda dan termasuk dalam usia kerja, yang nantinya akan mencari perkerjaan, jika pemerintah pada saat ini tidak menyiapkan lapangan kerjaan di pastikan di negara ini nantinya akan terdapat banyak penganguran dan jika penganguran banyak kemiskinan akan menimpa negara ini dan tingkat kriminalitas akan tinggi.
c. Angka Kematian Bayi
Selama hampir 20 tahun terakhir, Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami penurunan sebesar 51,0 pada periode 1967-1986. Tahun 1967 AKB adalah 145 per 1000 kelahiran, kemudian turun menjadi 109 per 1000 kelahiran pada tahun 1976. Selama 9 tahun terjadi penurunan sebesar 24,8 persen atau rata-rata 2,8 persen per tahun. Berdasarkan SP90, AKB tahun 1986 diperkirakan sebesar 71 per 1000 kelahiran yang menunjukan penurunan sebesar 34,9 persen selama 10 tahun terakhir atau 3,5 persen pertahun (Trend Mortalitas, 66).
Minimnya akses bagi ibu hamil dan melahirkan serta fasilitas kesehatan yang belum memadai menjadi salah satu persoalan yang mengakibatkan tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Hanya sekitar 66% persen wanita di Indonesia yang memiliki akses mudah pada fasilitas pelayanan kesehatan dan sisanya tidak cukup memiliki akses karena beberapa hambatan, terutama yang berada di daerah terpencil, beberapa hambatan yang dihadapi ibu hamil dan melahirkan, diantaranya adalah permasalahan transportasi, kemiskinan, layanan kesehatan yang tidak optimal dan pengaruh sosial budaya yaitu lebih suka mendapat pertolongan dukun daripada tenaga medis saat melahirkan.
d. Kemiskinan
Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan peluang penting yang menjadi hak setiap orang. Setiap orang harus bebas dari rasa lapar, harus dapat hidup dalam damai, dan harus mempunyai akses untuk mendapatkan pendidikan dasar dan jasa-jasa layanan kesehatan primer. Keluarga-keluarga miskin butuh mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan cara bekerja dan mendapatkan imbalan secara wajar serta seharusnya mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan terhadap guncangan-guncangan dari luar. Sebagai tambahan, perorangan maupun masyarakat juga miskin dan cenderung terus miskin apabila mereka tidak diberdayakan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan perubahan paradigma pembangunan dari top down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan.
Kondisi ini akan terlihat jika menempatkan kaum miskin dalam posisi terhormat, memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan dalam konsep pembangunan manusia. Ada beberapa dimensi terkait pengertian kemiskinan, baik yang melihat dari dimensi kesejahteraan material, maupun kesejateraan sosial. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis, seperti yang disampaikan Suwondo (1982:2) bahwa kemiskinan terbagai menjadi kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan dalam menikmati kehidupannya. Pengertian kemiskinan yang lebih luas disampaikan oleh John Friedman (Ala, 1996:4) yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Dari pengertian kemiskinan tersebut maka berbagai faktor yang menyebabkan kemiskinan juga secara umum lebih banyak disebabkan oleh faktor alamiah dimana kondisi alam dan wilayahnya tidak mampu mendukung kehidupan warganya, serta faktor struktural dimana kemiskinan yang timbul dari bentukan karena struktur masyarakatnya yang penuh ketidakadilan. Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan sebagai akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab kemiskinan terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian dibandingkan faktor alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat ini, kajian terhadap faktor alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.
Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan ukuran yang tepat dan berlaku umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan menjadi sangat normatif. Terkait dengan pelaksanaan PNPM Mandiri, ada beberapa ukuran yang mendekati seperti yang disampaikan oleh Emil Salim (1984:42-43) bahwa ada lima ciri kemiskinan yang meliputi: 1) tidak memiliki faktor produksi, 2) tingkat pendidikan rendah, 3) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 4) kebanyakan tinggal di desa, dan 5) banyak hidup di kota berusia muda dan tanpa skill.
Untuk itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam arah kebijakan pembangunan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini disampaikan Sri Mulyani (Soetrisno ed. 1995:2) menegaskan bahwa kebijakan yang mampu menjawab masalah kemiskinan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan adalah dengan membuka kemungkinan golongan miskin untuk berpartisipasi dalam proses pertumbuhan itu sendiri. Dengan adanya kebijakan tersebut maka upaya untuk meningkatkan akses penduduk miskin agar dapat memperoleh, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya yang tersedia.
Sebagai salah satu langkah penanggulan kemiskinan maka proses partisipasi masyarakat paling tidak ada tiga tahapan mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, dan pemanfaatan. Keterlibatan tersebut dapat dilihat dari: keterlibatan mental dan emosi, kesediaan memberi sumbangan/atau sukarela membantu, dan adanya tanggung jawab. Untuk itu, Y. Slamet (1993:3) memberi pengertian bahwa sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan, b) pelaksanaan program-program atau proyek secara sukarela, dan c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau suatu proyek.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Pada mulanya adalah kemiskinan. Lalu pengangguran. Kemudian kekerasan dan kejahatan [crime]. Martin Luther King [1960] mengingatkan, "you are as strong as the weakestof the people." Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah.
Sesungguhnya kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan Pemerintah Kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia [Pulau Jawa]. Pada saat itu indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk yang pesat [Soejadmoko, 1980].
Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu makin akut. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 % [www.bps.go.id]. Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Penurunan angka kemiskinan di Indonesia terus diupayakan oleh pemerintah. Cara yang memang sedang gencar dilakukan adalah pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM Mandiri. PNPM Mandiri ini merupakan lanjutan dari program sebelumnya yang bernama Program Pengembangan Kecamatan yang dimulai pada 1998. PNPM Mandiri sendiri baru muncul pada 2007.
Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, mengatakan seseorang dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. "Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan.
Dengan definisi itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2008 mencapai 35 juta jiwa. Angka itu merupakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, Susenas dengan sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 55 juta.
e. Keterkaitan Antara Kemiskinan dan Pengangguran
Dari definisi kemiskinan tersebut maka untuk mengindentikan bahwa masyarakat dikatakan miskin berarti pengangguran tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan pengangguran merupakan situasi yang disebabkan oleh faktor orang-orang yang bekerja di bawah kapasitas optimalnya (pengangguran terselebung), dan faktor orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapat lapangan pekerjaan sama sekali (pengangguran penuh). Untuk itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melakukan distribusi pendapatan melalui pencipataan lapangan kerja berupah memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat yang miskin.
Dengan adanya upaya perluasan lapangan kerja maka perlu mendapat dukungan dari berbagai tindakan kebijakan dan regulasi baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berjangkauan lebih jauh lagi. Oleh karena itu, masalah ketanaga kerjaan harus senantiasa diperhitungkan sebagai salah satu unsur utama dalam setiap perumusan strategi pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada usaha penanggulangan kemiskinan.
Untuk itu, partisipasi hanya dimungkinkan berjalan dengan baik, bila berangkat dari kesadaran dan prakarsa aktif masyarakat. Kesadaran dan prakarsa ini akan muncul bila masyarakat memiliki daya dan posisi tawar yang tinggi dalam mengakses, mengelola, dan mendayagunakan sumberdaya disekitarnya secara optimal. Partisipasi hanya mungkin terjadi bila terdapat keseimbangan antara daya /posisi tawar masyarakat yang diharapkan menjadi aktor utama utama pembanguan dan pemerintah. Dalam konteks ini, pemberdayaan (empowerment) menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif bukan hanya dimobilisasi.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus menerus, proses partisipatif dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.
Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-program pemerintah yang berbasis pemberdayaan seperti PPK telah memberi banyak pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah.
Pemberdayaan didefinisikan sebagai membantu masyakat agar mampu membantu diri mereka sendiri (help people to help themselves). Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses sumberdaya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni:
- Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
- Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
- Memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Pemberdayaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat dengan meningkatkan kapasitasnya. Setidaknya ada tiga kapasitas dasar yang dibutuhkan untuk itu, yakni:
Pertama: suara (voice), akses, dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pertama, suara adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.
Dalam konteks perencanaan pembangunan partisipatif, maka suara dapat disampaikan oleh masyarakat melalui musyawarah-musyawarah perencanaan pembangunan. Di sini lah masyarakat dapat mengusulkan ide pembangunan yang berangkat dari kebutuhan riil mereka, menyusun prioritas, dan mengambil keputusan pembangunan. Namun demikian sistem pembangunan dengan paradigma top down di masa lalu telah mereduksi kapasitas tersebut, sehingga masyarakat merasa sungkan atau tidak berani mengemukakan gagasannya dalam forum resmi meskipun diberi kesempatan. Di sini diperlukan sebuah proses pembelajaran melalui fasilitasi, motivasi, edukasi, dan advokasi secara terus menurus untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat dan meningkatkan kemampuannya dalam menyampaikan aspirasi secara jelas dan sistematis berbasis kebutuhan.
Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola sumberdaya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.
Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya, kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang bawah, sementara yang paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai penindasan sesama masyarakat, seraya hendak membangun tanggungjawab sosial, komitmen dan kompetensi warga terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
f. Masalah Mobilitas Penduduk di Indonesia
Masalah migrasi penduduk di Indonesia menjadi isu politik kependudukan di Indonesia.
Mobilitas Antar Pulau
Mobilitas antar pulau didominasi mobilitas penduduk di Pulau Jawa. Penduduk yang keluar dari Jawa sebanyak 3,6 juta jiwa tahun 1980 dan 5,3 juta jiwa tahun 1990. Sebagian besar migrasi menuju Sumatera, yaitu 79,75% pada tahun 1980 dan 68,70% pada tahun 1990. Migran keluar dari Pulau Sumatera tahun 1980 sebanyak 0,8 juta, dan sebesar 92,97% menuju Pulau Jawa, sedang pada tahun 1990 sebesar 1,6 juta dan 92,62 % juga menuju Pulau Jawa. Migran dari Kalimantan sebagian besar menuju Pulau Jawa. Dari 0,2 juta jiwa pada tahun 1980 adaa 73,32% menuju Pulau Jawa dan pada tahun 1990 ada sebanyak 0,5 juta ternyata yang 76,49 % juga menuju Pulau Jawa. (BPS:107,110)
Dapat dimaklumi bahwa Pulau Jawa sebagai tujuan utama para migran, karena di Pulau Jawa merupakan pusat perekonomian, pusat pendidikan, pusat pemerintahan dan pusat kegiatan sosial ekonomi lainnya. Migran terbesar yang masuk ke Pulau Jawa berasal dari Sumatera, karena Pulau Sumatera secara geografis berdekatan dengan Pulau Jawa dan sistim transportasi yang menghubungkan kedua pulau ini lebih bervariasi dan lebih banyak frekuensinya dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.
Mobilitas Penduduk antar Pulau Propinsi
Pola mobilitas di Jawa masih sangat besar. Di Jawa Timur jumlah pendatang masih didominasi migran sekitarnya terutama Jawa Tengah. Keadaan ini menunjukan bahwa pekembangan mobilitas terjadi karena peningkatan peranan lalu lintas di Pulau Jawa dan Sekitarnya termasuk Lampung, Sumatera Selatan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat. Sedang migran yang keluar dari Jawa Timur mayoritas menuju wilayah Indonesia Barat terutama Sumatera dan daerah pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jakarta. Propinsi pengirim migran total terbesar adalah Jawa Tengah, yaitu 3,1 juta jiwa pada tahun 1980 dan 4,4 juta tahun 1990. Jawa Timur sebanyak 1,6 juta pada tahun 1980 dan 2,5 juta tahun 1990, disusul Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta (BPS 1994; 111).
Mobilitas Penduduk dari Desa ke Kota
Urbanisasi pada dasarnya adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang disebabkan perpindahan dari desa ke kota, dari kota ke kota, serta akibat proses perluasan wilayah perkotaan (Reklamasi).
Permasalah yang Timbul :
Pertumbuhan penduduk perkotaan selalu menunjukan peningkatan yang terus menerus, hal ini disebabkan pesatnya perkembangan ekonomi dengan perkembangan industri, pertumbuhan sarana dan prasarana jalan perkotaan.
Upaya Pencegahan:
Pertumbuhan penduduk di perkotaan periode 1971-1980 jauh lebih pesat dibandingkan dengan periode 1980-1990, hal ini disebabkan periode 1971-1980 pertumbuhan ekonomi masih terpusat didaerah perkotaan, sehingga penduduk banyak pindah ke perkotaan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Pada periode 1980-1990 pemeratan pembangunan mulai terasa sampai ke daerah pedesaan. Keadaan ini memungkinkan penduduk tidak lagi membangun daerah perkotaan, akan tetapi cendrung menciptakan lapangan pekerjaan sendiri di pedesaan. (BPS 1994: 18). Sejalan dengan arah pembangunan yang diharapkan persentase penduduk perkotaan cendrung meningkat. Proyeksi yang diharapkan ada peningkatan dari 31,10 persen tahun 1990 menjadi 41,46 % pada tahun 2000. Menurut Prigno Tjiptoheriyanto upaya mempercepat proses pengembangan suatu daerah pedesaan menjdadi daerah perkotaan yang disesuaikan dengan harapan dan kemampuan masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan jumlah penduduk yang berminat tetap tinggal di desa. Yang perlu diusahakan perubahan status desa itu sendiri, dari desa "desa rural" menjadi "desa urban". Dengan demikian otomatis penduduk yang tinggal didaerahnya menjadi "orang kota" daalam arti statistik (Surabaya Post, 23 September 19996). Guna menekan derasnya arus penduduk dari desa ke kota, maka pola pembangunan yang
beroreantasi pedesaan perlu digalakan dengan memasukan fasilitas perkotaan ke pedesaan, sehingga merangsang kegiatan ekonomi pedesaan.
Penganguran
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang. Angka pengangguran di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10 persen. Target pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,5 persen dinilai tidak cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif.
Tabel Jumlah Penganguran Di Indonesia
Tahun | Jumlah Penganuran |
2004 | 10 251 351 |
2005 | 10 854 254 |
2006 | 11 104 693 |
2007 | 10 547 917 |
2008 | 9 427 590 |
2009 | 9 258 964 |
Sumber : http://www.bps.go.id
Dilihat dari table di atas dapat kita ketahui bahwa tingkat penganguran di Negara ini mengalami penurunan setiap tahunnya namun penurunan tersebut tidak begitu tajam di karenakan tingkat penganguran akan menurun jika di dukung dengan tingkat perekonomian suatu bangsa, perekonomian kita tumbuh di kisaran 4.5 % sedangkan pada tahun 2010 pemerintah menargetkan perekonomian 5.5 % dan di harapkan bisa mengurangi pengaguran di Negara ini.
- Masalah Kepadatan Penduduk di Indonesia
Dilihat dari jumlah penduduknya Indonesia termasuk negara terbesar ketiga diantara negara-negara sedang berkembang setelah Gina dan India. Hasil pencacahan lengkap sensus penduduk 1990, penduduk Indonesia berjumlah 179,4 juta jiwa. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, julah penduduk pada tahun 1995 mencapai 195,3 juta jiwa.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 sekitar 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal luas Pulau Jawa hanya sekitar 7% dari seluruh wilayah daratan Indonesia. Dilain pihak, Kalimantan yang memiliki 28% dari luas total, hanya dihuni oleh 5% penduduk Indonesia. Dengan demikian kepadatan penduduk secara regional juga sangat timpang, sementara kepadatan per kilometer persegi di Pulau Jawa mencapai 814 orang, di Maluku dan Irian Jaya hanya 7 orang (BPS, 1994:29).
Permasalahan yang timbul:
Ketidakseimbangan kepadatan penduduk ini mengakibatkan ketidakmerataan pembangunan baik phisik maupun non phisik yang selanjutnya mengakibatkan keinginan untuk pindah semakin tinggi. Arus perpindahan penduduk biasanya bergerak dari daerah yang agak terkebelakang pembangunannya ke daerah yang lebih maju, sehingga daerah yang sudah padat menjadi semakin padat.
Pemecahan Masalah:
Untuk memecahkan masalah ini dilaksanakan program pepindahan penduduk dari daerah padat ke daerah kekurangan penduduk, yaitu program transmigrasi. Sasaran utama program transmigrasi semula adalah untuk mengurangi kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Tetapi ternyata jumlah penduduk yang berhasil di transmigrasikan keluar Jawa sangat kecil jumlahnya. Pada tahun 1953 direncanakan 100.000 penduduk, tetapi hanya sebanyak 40.000 orang yang berhasil dipindahkan (BPS 1994:90). Walaupun demikian, program transmigrasi sudah menunjukan hasilnyandimana penduduk yang tinggal di Pulau Jawa turun dari 60% pada tahun 1990, diproyeksikan menjadi 57,7% pada tahun 2000. Sebaliknya diluar Jawa diproyeksikan akan terjadi kenaikan tahun 1990-2000. Di Pulau Sumatera naik dari 21% pada tahun 1990 menjadi 21,65 % pada tahun 2000 (BPS 1990:6-7).
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa permasalahan kemisikinan tersebut berkaitan dengan itu disebabkan oleh besarnya jumlah penganguran disertai juga dengan besarnya jumlah penduduk, yang berdampak pada kemiskinan yang terdapat dimana-mana karena orang-orang tidak mendaptakan perkerjaan yang berdampak pada tingkat kehidupannya dan jika hal tersebut terjadi maka kesehatan penduduk akan terabaikan Karen kurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga tingkat pendidikan suatu penduduk juga berpengaruh pada usaha pengentasan kemiskinan dan pada umumnya penduduk yang miskin lebih cepat putus sekolah dari pada penduduk yang hidupnya diatas garis kemiskinan.
Berdasarkan pembahasan diatas terdapat 10 cara mengantaskan kemiskinan yakni :
- Peningkatan fasilitas jalan dan listrik di pedesaan.
- Perbaikan tingkat kesehatan melalui fasilitas sanitasi yang lebih baik.
- Penghapusan larangan impor beras
- Pembatasan pajak dan retribusi daerah yang merugikan usaha lokal dan orang miskin
- Pemberian hak penggunaan tanah bagi penduduk miskin.
- Membangun lembaga-lembaga pembiayaan mikro yang memberi manfaat pada penduduk miskin.
- Perbaikan atas kualitas pendidikan dan penyediaan pendidikan transisi untuk sekolah menengah.
- Mengurangi tingkat kematian ibu pada saat persalinan.
- Menyediakan lebih banyak dana untuk daerah-daerah miskin
- Merancang perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran.
- Saran
Didalam penuntasan kemiskinan itu pemerintah yang bertangung jawab terhadap rakyatnya harus berhati-hati didalama mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan penuntasan kemiskinan tersebut, kebijakan-kebijakan yang di keluarkan harus benar-benar menuntaskan permasalahan kependudukan tersebut dan tidak berdampak negative bagi masyarakat luas.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org
http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/01/kebijakan-penanggulangan-kemiskinan-dan.html
http://suarapembaca.detik.com/read/2010/02/22/081829/1303963/471/indonesia-dan-problem-kemiskinan
http://www.bps.go.id
http://www.mediaindo.co.id
http://www.beritanet.com
http://siteresources.worldbank.org
Comments
Post a Comment